Beberapa minggu terakhir ini headline
dibeberapa media Indonesia diramaikan dengan fenomena Angkutan Umum Online Vs
Angkutan Umum Konvensional. Sebenernya fenomena ini sudah ramai diperbincangkan
dikalangan masyarakat sejak beberapa tahun terakhir ini tetapi puncaknya adalah
aksi unjuk rasa supir salah satu angkutan umum konvensional yaitu supir taksi
konvensional yang berujung aksi anarkis.
Mereka menuntut layanan berbasis online
seperti Grabcar dan Uber diblokir. Fenomena ini akhirnya menjadi polemik yang
cukup runyam bahkan sampai membuat menteri perhubungan dan menkominfo tidak
sejalan dalam mengeluarkan keputusan untuk menyelasikan masalah ini. Saya pribadi menjadi tertarik membahas
masalah ini dari sudut pandang “On-Demand Economy.” Grabcar, Gojek, dan Uber adalah beberapa contoh konkrit dari dampak
perkembangan teknologi dibidang transportasi. Di penulisan ini saya akan
mengenalkan kepada Anda bagaimana konsep dan penerapan on-demand economy di
beberapa bidang. Walau pembahasan terbatas, saya mencoba membuat Anda lebih
akrab dengan konsep on-demand economy yang menjadi tren saat ini.
Saat ini sudah umum jika kita sebagai konsumen
selalu menginginkan sesuatu secara cepat dan praktis. Salah satunya adalah
menggunakan aplikasi di mobile phone Anda untuk mencari dan melakukan
pemesanan. Hanya dengan men-tap beberapa kali, Anda sudah bisa memanggil
layanan di hadapan Anda. Hebat bukan? Dulu layanan seperti ini masih cukup
mahal dan tidak tersedia bagi semua orang. Kini, nyaris semua pengguna
smartphone tidak lagi mengalami kesulitan mencari dan melakukan pemesanan,
kapan pun dan nyaris di mana pun. Yang paling hebat lagi, banyak di antaranya
malah dengan harga bersaing dibanding harga normal dari jenis layanan yang
sejenis. Dengan penerapan teknologi maka ada peningkatan produktivitas,
penghematan sumber daya, minimalisasi waktu tunggu/jeda, yang pada akhirnya
memang bertujuan untuk lebih memberikan efisiensi dan kemudahan kepada
pelanggan. Di sisi pemberi layanan, teknologi memungkinkan kompetisi yang lebih
baik lagi disertai dengan peningkatan kepuasan pelanggan. Pada akhirnya jumlah
pelanggan akan meningkat. Biasanya terobosan seperti ini dilakukan oleh startup
yang terus berinovasi mencari cara baru untuk lebih mengefisienkan pelayanan.
Secara pasti, beberapa di antaranya cukup menonjol bahkan mendobrak pola lama
dari layanan yang sejenis namun sering pula dilakukan bukan berbasis industri
yang sama. Contoh hangat adalah Uber. Menggunakan teknologi aplikasi namun
ditujukan untuk industri transportasi jenis taksi. Apakah hanya untuk taksi
saja? Sebenarnya bisa untuk yang lain, seperti truk, bis dan di Indonesia
contoh populernya ditujukan untuk ojek. Tapi, jenis industri apa saja yang
potensial untuk dieksplorasi dengan model bisnis on-demand economy ini? Dan apa
saja yang perlu diperhatikan? Saya membahasnya agar nuansa layanan dengan model
on-demand economy tidak melulu dihubungkan dengan model ekonomi kapitalis.
Disaat perkembangan transportasi online yang
sangat cepat bagaimana angkutan umum konvensional sebut saja taksi
menghadapinya? Inilah polemik yang saat ini terjadi. Ada beberapa alasan banyak orang tidak menaiki taksi konvensional
dan lebih memilih transportasi online. Saya akan membahasnya satu per satu
sesuai dengan pandangan saya mengenai alasan masyarakat saat ini tidak memilih
taksi konvensional,
1. Tidak
praktis Ini alasan utama, bukan masalah harga. Soal harga atau tarif mah di
nomor berikutnya. Order taksi by phone sudah sangat sering menyusahkan saya
karena taksi tak kunjung datang dan pengemudi tak tahu arah. Pernah saya order
dari Cibinong malah yang menghubungi saya taksi dari Kota Bogor. Jauh amat.
Padahal di Cibinong banyak taksi santai-santai saja ngetem. Katanya perusahaan
taksi sudah pula menyediakan aplikasi. Kenyataannya? Sampai sekarang saya gagal
terverifikasi sebagai user meski sudah donlot aplikasi. Dugaan saya. bisa jadi
pengembangan aplikasinya hanya setengah hati.
2. Sopir taksi pilih-pilih penumpang Ini selalu
bikin saya jengkel setengah mati. Ketika di pinggir jalan taksi kosong sudah
berhenti atau memang sedang mangkal, kemudian saya bilang ke sopirnya arah
tujuan yang memang tidak terlalu jauh, si sopir kemudian menolak dengan
berbagai alasan. “Maaf Pak, saya lagi ke arah pulang”. “Oh, yang lain aja, saya
abis makan perutnya lagi enggak enak”. Apabila terlanjur naik pun, mereka
biasanya akan pasang tampang masam ketika arah tujuan kira-kira memakan argo
tidak sampai 30 ribu rupiah. Dan sebaliknya bakal ramah setengah mati ketika
arah tujuan saya adalah ke Bandara yang nun jauh di sana.
3. Harga Nah sekarang bicara soal tarif alias
harga. Dibandingkan kendaraan berbasis online memang kalah murah. Dan semakin
parah lagi kalau sopir taksi pura-pura nyasar supaya argonya makin tinggi. Atau
argonya diakalin jadi ‘argo kuda’, isu ini terus terang bikin saya kerap
melotot pada argo dan bikin saya kerap berdebar-debar sambil meramal kira-kira
sampai tujuan berapa lembar uang yang harus melayang dari dompet saya. Semakin
macet makin mahal pula ongkos taksi. Bandingkan dengan yang berbasis online,
ada yang menerapakan sistem tarif mau macet berapa lama pun tarifnya tetap dari
awal.
4. Sering tak tahu arah/bikin macet Tidak tahu
arah itu bahaya. Apalagi jika arah kehidupan. Sepertinya para sopir taksi
memang harus segera diubah pola pikirnya. Buat apa teknologi GPS jika tidak
digunakan? Repot memang mendeteksi sopir yang memang nyasar beneran atau
pura-pura nyasar supaya dapat pemasukan lebih banyak. Kalau kelakuan semua
sopir taksi begini, ya wajar saja kota seperti Jakarta nggak sembuh-sembuh
penyakit macetnya. Lha wong banyak kendaraan seliweran tak tentu arah gitu.
Sementara para sopir berbasis aplikasi dari awal sudah tahu arah tujuan karena
aplikasinya memang berbasis peta. Kemudian ketika jalan dan dia belum mengenal
daerah tujuan, dengan sedikit diskusi dan panduan peta pada GPS semuanya bakal
beres. Macet jelas hal yang dihindari oleh mereka.
5.
Kendaraan yang tidak nyaman Kendaraan taksi memang rata-rata sedan. Tapi justru
jenis sedan ini saya pikir tidak selalu nyaman. Banyak mobil taksi yang
kursinya sudah kurang empuk lagi. Belum lagi aroma dalam kendaraan yang bau
apek atau asap rokok. Maksimal penumpang pun hanya empat orang. Beda dengan
yang pakai aplikasi, rata-rata mobil baru, wangi dan selalu dibersihkan. Bisa
muat 5 atau 6 orang penumpang. Dan yang terpenting, pasti tidak ada sopir yang
belum mandi dan ngantuk gara-gara begadang semalaman nyari penumpang di pinggir
jalan.
Ada satu
persepsi yang tidak selalu tepat digunakan untuk mengenalkan model bisnis dari
on-demand economy, yaitu: INSTAN. Biasanya konsumen menganggap bahwa
pelayanan instan adalah satu-satunya model dari
layanan on-demand (berkisar antara 15-45 durasi pemenuhan order).
Bisa jadi untuk jenis layanan pemesanan taksi, order makanan cepat saji
model tersebut memang benar. Tapi ada model lagi yang cukup populer yaitu
pelayanan terjadwal. Contohnya pemesanan grosir, layanan salon
kecantikan, laundry dan antar paket/barang dengan aplikasi.
Order dilakukan dengan jadwal yang sesuai keinginan Anda dan itu bisa di
luar rentang waktu 45 menit ke atas. Jadi tidak lagi harus instan. Dengan
melihat kondisi demikian maka kita wajar bertanya kalau model on-demand bisa
dilakukan di banyak industri? Secara sederhana memang iya. Namun pastikan Anda
memahami apakah layanan ditujukan untuk kebutuhan instan atau terjadwal.
Perbedaan yang mencolok di antaranya adalah, model instan lebih kompleks dari
model terjadwal dan jika berhubungan dengan produk fisik maka kompleksitas akan
semakin meningkat karena ketidakpastian pemesanan yang datang. Sebagai
contoh: layanan taksi online lebih bisa dilakukan dengan lebih instan
dibanding layanan antar paket online misalnya. Taksi yang tersedia bereaksi
lebih cepat dibanding layanan antar barang karena proses penjemputan barang dan
jadwal pengiriman bisa memakan waktu lebih lama.
Kunci penting adalah memahami kebutuhan
pelanggan, apakah lebih bersifat urgent/instan atau mau menerima jadwal
yang lebih fleksibel. Marketplace Bebas atau Satu Pihak Contoh mudah adalah aplikasi
Uber itu sendiri. Supir Uber bebas siapa saja asal terdaftar di aplikasi Uber
dan siapapun bisa menjadi konsumen asal sudah mengunduh dan memasangnya di
smartphone milik sendiri. Kondisi ini disebut kondisi liquid di mana jumlah
penyedia (supplier/driver) dan pengguna (consumer) cukup besar. Dari sisi
bisnis sudah dianggap efisien karena layanan dapat diberikan dengan cepat
(instan). Dengan kata lain, terjadi pemenuhan kebutuhan pelanggan dengan baik
karena jumlah penyedia mencukupi. Apakah kondisi itu bisa langsung didapat?
Sebenarnya tidak. Diawali dengan penyediaan layanan awal dengan men-supply
penyedia secara terpisah. Dengan kata lain, katakanlah Anda sebagai startup,
mengumpulkan penyedia layanan di satu sisi terlebih dahulu. Biasanya penyediaan
ini dibuat dengan kesepakatan atau model kerjasama seperti kontrak kerja.
Dengan kata lain Anda memulai dengan jaringan supplier sendiri. Dalam
jangka panjang, bisa jadi layanan Anda akan meluas dan akhirnya marketplace
terbentuk dengan sendirinya.
Dulu tidak terlalu mudah menemukan kebutuhan
yang tersembunyi dari konsumen. Saat itu startup sebagai penyedia lebih mudah
mengenalkan layanannya dan menemukan konsumen. Namun kini dengan kondisi
kompetisi yang sengit, terkadang penyediaan layanan dimulai dengan mengumpulkan
beberapa supplier dan memberikan akses ke marketplace yang sedang dibentuk
agar konsumen tertarik dan percaya. Proses agregasi (pengumpulan) di satu sisi
ini lebih efisien dan meminimalkan beberapa masalah. Seperti Gojek misalnya.
Walaupun penerapannya mirip Uber, namun pada pelaksanaannya cukup menunjukkan
bahwa Gojek lebih memfokuskan diri kepada penyedia (supplier) yang terintegrasi
yaitu jaringan pengemudi Gojek. Dengan cara ini, perusahaan dapat memastikan
tingkat kualitas yang lebih terjamin dibanding dengan memberikan kebebasan
langsung kepada supplier dan konsumen dalam berinteraksi. Pilihan Sendiri atau
Aturan Algoritma Terkadang konsumen lebih menyukai pilihan sendiri dibanding
menggantungkan pilihan kepada algoritma dari platform layanan. Contohnya Uber,
Anda dapat memilih taksi mana yang akan Anda panggil berdasarkan beberapa
ketentuan pilihan menurut Anda sendiri. Sementara kalau Anda menggunakan
aplikasi kencan online atau jasa kerja lepas, maka algoritma akan mengatur dan
memberikan kemungkinan layanan terbaik. Anda hanya bisa memilih dari pilihan
yang disediakan. Apakah cara ini kurang baik? Sebenarnya tidak. Katakanlah Anda
ingin memberikan layanan teknisi siap panggil, Anda bisa menggunakan algoritma
untuk membantu konsumen menemukan teknisi terbaik/terdekat atau membiarkan
mereka sendiri memilih dari awal. Anda hanya memberikan pasar tempat berkumpul
(marketplace) kepada kedua belah pihak. Persoalan muncul ketika Anda salah
membaca keinginan dan kebutuhan konsumen. Tidak semua konsumen butuh bantuan
dan lebih memilih sendiri. Di sinilah letak pemahaman akan kebutuhan konsumen
sangat penting. Sebagai contoh kasus: manakah yang Anda pilih, aplikasi laundry
online yang memberikan kebebasan kepada Anda memilih penyedia jasa laundry yang
Anda sukai? Mungkin karena sebagai konsumen Anda lebih suka memilih berdasarkan
jarak/lokasi yang dekat, kenal dengan area, dsb? Atau sebagai konsumen Anda
tidak mau tahu akan hal itu dan hanya membutuhkan jasa yang sesuai dengan
keinginan? Misalnya jadwal dijemput dan pengerjaan yang pasti, rating kualitas
penyedia laundry atau bahkan Anda tidak mau tahu siapa yang mengerjakan. Yang
penting terima beres. Kuncinya adalah mengenal kebutuhan pelanggan dan
mengoptimalkan kecocokan serta efisiensi dari penyedia layanan. Layanan
Terstandar atau Tidak Terstandar Mungkin bagian ini yang paling cocok dengan
kondisi Uber versi taksi lokal dalam beberapa poin. Armada taksi sepertinya
terstandar dengan pemahaman menggunakan mobil yang sejenis, keseragaman prosedur
dari supir dalam menangani penumpang dan ketentuan implementasi regulasi dari
pemerintah. Jika kita melihat kasus taksi Vs Uber maka muncul persepsi kalau
model bisnison-demand economy ini lebih bercorak kapitalis dan menguntungkan
satu pihak saja yaitu penyedia layanan (dalam kasus itu bisa disebut supir Uber
yang dituding hanya nyambi namun mendapatkan pendapatan cukup lumayan). Apalagi
ketika kita melihat kenyataan bahwa banyak perusahaan taksi terganggu
pendapatannya. Namun betulkan model penerapan on-demand economy tidak selalu
bagus? Betulkah bahwa di balik aplikasi ini, kepentingan kapitalislah yang
diutamakan? Bila melihat tergerusnya pendapatan perusahaan taksi lokal, apakah
karena kapitalisme sepihak dari Uber? Atau sebenarnya hanya imbas dari
penerapan teknologi demi efisiensi? Jika diblokir, apakah aplikasi sejenis
lainnya bisa dikatakan "haram" untuk dibuat? Dan regulasi yang
bagaimana sebenarnya yang bisa dikatakan sesuai aturan yang berlaku? Di mata
konsumen yang terpenting adalah pemenuhan kebutuhan dengan harga terbaik. Dan
inilah poin penting bagi dunia bisnis siapapun penyedianya. Tanpa kemampuan
memuaskan kebuhan pelanggan maka perusahaan dan layanan Anda akan ditinggal.
Saya sendiri beropini kalau model bisnis on-demand economy ini bisa menekan
biaya yang tidak penting (baik dengan alasan tidak efisien atau biaya siluman
untuk ekstrimnya). Dengan menerapkan on-demand economy di berbagai jenis
industri maka keadilan ekonomi lebih cepat dapat dicapai. Contohnya: bila ada
aplikasi pemesanan laundry online di berbagai kota besar, maka bayangkan
potensi penghematan waktu dari konsumen, biaya idle karena mesin tidak
digunakan dari penyedia laundry bisa ditekan. Kemudahan yang
didapatkan konsumen berhubungan langsung tingkat kompetitif dari para pelaku
bisnis. Dengan kata lain, bisnis yang bertahan akan relatif efisien serta
menguntungkan dibanding tanpa penerapan on-demand economy. Jadi ekonomi rente,
ekonomi biaya siluman bisa ditekan di sini. Mari kita hubungkan pula dengan
infrastruktur telekomunikasi di Indonesia yang saat ini didominasi oleh
smartphone. Dengan besarnya konsumen disisi user yang memanfaatkan mobile
phone, sebenarnya tidak sulit untuk membangun marketplace untuk berbagai jenis
layanan on-demand. Dan pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana
mengakselerasikan agar model on-demand economy semakin cepat menyebar sampai ke
daerah? Yang Dibutuhkan Startup di Era On-Demand Economy Isyarat pemblokiran
yang diniatkan Menkominfo tidak baik sebenarnya.
Di mata
pelaku startup saat ini ada kebingungan melihat respon pemerintah sebenarnya.
Apakah pemblokiran ini adalah metode yang efektif? Lalu di satu sisi apakah
developer lokal akan mendapatkan masalah bila membuat aplikasi sejenis? Padahal
aplikasi itu bukan ditujukan kepada perusahaan besar tapi lebih kepada UKM?
Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah kepastian peraturan dan kejelasan
regulasi. Setidaknya untuk pelaku startup yang secara praktis memang ada di
lini depan dalam penerapan model bisnis on-demand economy. Sayangnya, kepastian
dan kejelasan regulasi ini pula yang masih cukup menjadi masalah khususnya bagi
startup lokal. Ekosistem bisnis dan industri belum cukup mendukung
developer startup lokal. Walau tidak dipungkiri sudah banyak usaha yang
diberikan dan banyak pihak terlibat, namun masih belum cukup untuk membuat
pertumbuhan industri digital bisa mandiri di dalam negeri. Mungkin ini hanya
sebagian dari masalah sehingga startup lokal belum mampu bermain ke level
global. Perlu keterlibatan stakeholder yang lebih besar dan tentunya model
pemblokiran seperti Uber, Netflix, dan mungkin jenis layanan digital dari luar
lainnya hanya model panik sesaat. Suka atau tidak, kemampuan kompetisi memang
harus dipupuk dari awal. Di desa global seperti saat ini, main blokir akan
lebih berdampak buruk baik kepada konsumen maupun penggiat industri tersebut.
Kita jadi jago kandang dengan model proteksi? Walah... cemen amat! Sudah
saatnya jika kita ingin berkompetisi sehat, maka berikan dukungan dan kemudahan
bagi para pelaku lokal. Biarkan penyedia layanan dari luar menjadi pesaing dan
jadi tolak ukur juga. Mungkin tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa
isyarat pemblokiran hanyalah trend terbaru dari pemerintah untuk mengamankan
situasi tapi tidak menyembuhkan masalah. Pendapat Anda? Melalui artikel singkat
ini, bagaimana pendapat Anda sekarang? Bila Anda bukan pelaku startup, semoga
artikel ini bisa menambah wawasan Anda tentang berbagai hal di balik penerapan
bisnis berbasis on-demand economy seperti Uber. Bila Anda seorang startup,
semoga artikel ini bisa memberikan wawasan tambahan mengenai model penerapan
serta faktor di balik pemilihan jenis platform yang hendak Anda buat.
Bila Anda produsen layanan yang belum tersentuh teknologi aplikasi, apakah
perusahaan Anda bisa memanfaatkan teknologi sebagai salah satu faktor efisiensi
yang pada akhirnya menjadi penentu hidup dari bisnis Anda? Atau Anda sebagai
konsumen tetap berpendapat bahwa yang terbaik, termurah, termudah adalah yang
paling utama? Bagi pemerintah, apakah efisiensi dari penerapan bisnis on-demand
economy (terlepas dari masalah penyedia luar atau lokal) bisa memberikan
pelayanan yang dibutuhkan publik secara lebih luas? Atau hanya mengamankan
sebagian kepentingan pelaku bisnis saja? Pada akhirnya, penerapan on-demand
economy memberikan peluang kepada developer lokal (startup lokal) untuk mencoba
peruntungan di industri digital yang selama ini masih dikuasai asing. Bukan
masalah mudah sebenarnya, tapi dengan teknologi dan konsep on-demand economy
hal tersebut menjadi memungkinkan. Sejalan dengan tujuan pemerintah, regulasi
yang bagaimana yang cocok dengan kondisi ini? Apakah benturan antara perusahaan
taksi tradisional yang lamban mengadaptasi perubahan jaman tetap jadi acuan
kasus, atau lebih berpihak kepada kebutuhan dan kepuasan konsumen secara lebih
luas? Samakah respon pemerintah jika kondisi di atas sudah berubah sedikit.
Misalnya, sudah banyak perusahaan taksi lokal yang menerapkan teknologi demi
efisiensi dalam lini bisnisnya? Masih relevankah pemblokiran dengan alasan
regulasi? Atau sekarang medan persaingan lebih kepada aplikasi taksi online Vs
aplikasi ojek online misalnya? Mana yang lebih disukai pasar? Mana yang lebih
memuaskan kebutuhan konsumen? Jika pelaku taksi lokal kini menjadi korban dari
Uber, lalu di masa depan pelaku bisnis lokal mana lagi akan menjadi korban? Dan
jika pesaingnya adalah perusahaan lokal sendiri, lalu apakah ada perbedaan cara
pandang kita (baik konsumen maupun pemerintah) terhadap kondisi itu? Dengan
kata lain, apakah kasus taksi lokal Vs Uber itu memang kasus perusahaan
tradisional Vs teknologi atau lebih kepada perusahaan asing Vs lokal? Sumber:
weheartit.com Penutup Menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah lebih berfokus
kepada regulasi untuk mendukung pertumbuhan industri digital sebagai salah satu
bentuk dukungan aktif demi industri dalam negeri itu sendiri. Bisa
diarahkan untuk memperkuat pelaku industri lainnya. Tapi, yang lebih
penting adalah pemahaman dari pemerintah itu sendiri dengan tren dan model
bisnis di era teknologi saat ini. Kalau tidak, modelnya masih hanya berkutat
main blokir, menghempang dengan alasan pajak yang tidak masuk ke negara, dsb.
Praktisnya hanya fokus keuntungan jangka pendek. Bukan fokus ke pertumbuhan dan
keuntungan jangka panjang. Tidak mudah memahami perubahan bisnis di era
teknologi sekarang ini. Lebih sering regulasi tertinggal dibanding praktik
bisnis. Untuk meminimalkannya, pemerintah perlu merekrut berbagai kalangan dari
industri terkait dan belajar mengubah persepsi kalau bisnis masih dilakukan
dengan model "as usual". Jika kita masih berkutat di masalah taksi Vs
Uber, mungkin Anda perlu mendengar layanan baru dari HyreCar. Layanan dari
startup dari Amerika ini memberikan kemudahan bagi pengemudi yang ingin menjadi
supir Uber tapi tidak memiliki mobil. Jadi, Hyrecar membantu masalah ketiadaan
mobil tersebut sehingga calon pengemudi bisa mencoba peruntungannya di bisnis
on-demand economy. Coba bayangkan bisa diterapkan di Indonesia, berapa potensi
pengangguran yang bisa terbantu? Coba bayangkan bila konsep itu diterapkan di
berbagai jenis bisnis? Apakah masalah pengangguran bisa lebih diminimalisasi?
Masih berpikir ini hanya masalah seputar ekonomi kapitalis? Atau mungkin ini
adalah bentuk ekonomi berbasis kebebasan dan efisiensi?
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar